Anda tentu setiap hari mandi, bukan? Jika Anda tidak mandi tentu badan menjadi bau dan tidak enak. Tapi tahukah Anda bahwa mandi itu ada yang wajib. Namanya mandi wajib. Apa itu mandi wajib? Mandi wajib atau janabah, atau junub
adalah mandi yang dilakukan ketika kita mengalami mimpi basah atau
habis bersenggama. Nah, pada saat seperti inilah kita diwajibkan untuk mandi wajib/janabah. Lalu, bagaimanakah? Lihat pembahasan selengkapnya berikut ini yang ditulis oleh Al-Ustadz Lukman Jamal,Lc :
Defenisi Mandi Janabah
Definisi Mandi :
Al-Ghuslu (Mandi) secara
bahasa adalah kata yang tersusun dari tiga huruf yaitu ghain, sin dan
lam untuk menunjukkan sucinya sesuatu dan bersihnya. (Lihat Mu’jam
Maqayis Al-Lughoh 4/424).
Al-Ghuslu adalah mengalirnya air pada sesuatu secara mutlak. (Lihat : As-Shihah 5/1781-1782, Lisanul ‘Arab 11/454, Mufradat Al-Ashfahany hal. 361 dan AN-Nihayah Fii Ghoribul Hadits 3/367).
Dan Al-Ghuslu secara istilah adalah menyiram air ke seluruh badan secara
khusus. (Lihat Ar-Raudh Al-Murbi’ 1/26, Mu’jam Lughatul-Fuqaha` : 331 )
Kata Ibnu Hajar : Hakikat mandi adalah mengalirkan air pada anggota-anggota tubuh.( Lihat: Fathul Bary :1/359)
Definisi Janabah :
Janabah secara bahasa adalah Al-Bu’du (yang jauh). Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
وَالْجَارِ الْجُنُبِ
“Dan tetangga yang junub (jauh)”. (QS. An-Nisa` : 36)
Dan juga dalam firman-Nya yang Maha agung :
فَبَصَرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
“Maka Ia (saudara perempuan Nabi Musa) melihatnya dari junub (jauh) sedangkan mereka tidak mengetahuinya”. (QS. Al-Qoshash : 11)
Adapun secara istilah adalah
orang yang wajib atasnya mandi karena jima’ atau karena keluar mani.
(Lihat : Al-I’lam 2/6-9, Ihkamul Ahkam 1/356 dan Tuhfatul Ahwadzy 1/349)
Hukum Mandi Janabah
Mandi Janabah adalah wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’.
Adapun dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبٍا فَاطَّهَّرُوْا
“Dan jika kalian junub maka mandilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6)
Dan juga Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
وَلاَ جُنُبٍا إِلاَّ عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوْا
“Dan jangan pula (dekati sholat) sedang kalian dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”. (QS. An-Nisa` :
43)
Adapun dari sunnah, akan datang beberapa hadits dalam pembahasan yang menunjukkan tentang wajibnya mandi janabah.
Adapun Ijma’ telah dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim 3/220.
Hal-hal yang mewajibkan mandi
Berikut ini beberapa perkara yang apabila seorang muslim melakukannya maka wajib atasnya untuk mandi.
Satu : Keluarnya mani dengan syahwat.
Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur
maupun terjaga. Dan para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mandi
dengan keluarnya mani, sebagaimana yang dinukil oleh Imam
Muhammad bin Jarir Ath-Thobary sebagaimana dalam Al-Majmu’ 2/158, Ibnu
Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 21, An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim
4/36 dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/47.
Dan ada beberapa dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut, diantaranya :
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ
يَسْتَحْيِيْ مِنَ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ الْغُسْلِ إِذَا
هِيَ احْتَلَمَتْ ؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam kemudian berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah
tidak malu dari kebenaran, maka apakah wajib atas seorang wanita untuk
mandi bila dia bermimpi ?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat air (mani-pen.)” (HSR.
Bukhary-Muslim).
Sisi pendalilannya : sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam mewajibkan mandi kepada wanita jika keluar air
(mani-pen) dan hukum terhadap laki-laki sama. (Lihat Fathul bary :1/462,
Ihkamul ahkam : 1/100)
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Air itu hanyalah dari air”. (HSR. Bukhary-Muslim).
Maksud dari air yang pertama adalah air untuk mandi wajib
sedangkan air yang kedua adalah air mani, maka maknanya adalah air untuk
mandi itu wajib karena keluarnya air mani.
Faedah :
1. Kalau seorang mimpi tetapi tidak mendapati mani, maka tidak wajib mandi menurut kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam kitabnya; Al-Ijma’ (34) dan Al-Ausath 2/83. Dan lihat pula Al-Majmu’ 2/162.
2. Kalau seseorang terjaga dari tidur kemudian dia mendapatkan cairan dan tidak bermimpi maka dia wajib mandi, karena hadits Aisyah radhiyallhu ‘anha beliau berkata :
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ بَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ
إِحْتِلاَمًا قَالَ : يَغْتَسِلُ. وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهً قَدِ
احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ : لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ
“Rasulullah ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas basahan
dan dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib
mandi. Dan (beliau juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa
dirinya mimpi tapi tidak mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak
wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud no. 236, At-Tirmidzy no. 112
dan Ibnu Majah no. 612 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih
At-Tirmidzy).
Dan juga dalam hadits Ummu salamah di atas :
فَقَالَ: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“(Rasulullah) menjawab : ” Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”.
3. Kalau keluar mani tanpa syahwat seperti karena kedinginan atau sakit maka tidak wajib mandi.
Hal ini berdasarkan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنَ الْجَنَابَةِ فَإِذَا لَمْ تَكُنْ
حَاذِفًا فَلاَ تَغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا رَأَيْتَ
فَضْحَ الْمَاءِ فَاغْتَسِلْ. وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : فَإِذَا فَضَحْتَ
الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ.
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah dari
janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang
lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”.
Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat
maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107, 109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i
1/93 dan dishohihkan oleh Ahmad Syakir dan Syeikh Al-Albany
rahimahumullah dalam Al-Irwa` 1/162).
Sisi pendalilan : Yaitu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dalam hadits ini mensyaratkan فَضْحُ الْمَاءِ untuk wajibnya
mandi sedangkan فَضْحٌ adalah keluarnya air dengan kuat.
Kata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 فَضْحُ الْمَاءِ
adalahدَفْقُهُ (memancar). Dan kata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/267 :
اَلْفَضْحُ خُرُوْجُهُ عَلَى وَجْهِ الشِّدَّةِ(Keluarnya air mani dengan
cara yang kuat).
Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak dengan
syahwat maka tidak wajib mandi, sebab mani itu dapat keluar dengan kuat
dan memancar dan hal tersebut tidaklah terjadi kecuali kalau keluarnya
dengan syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad dan dikuatkan oleh Ahli Fiqh zaman ini Syeikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahumullah. (Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah Al-Mumti’
1/386-387.)
Dua : Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ شُعُبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا
فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan)
kemudian ia bersungguh-sungguh[1] maka telah wajib atasnya mandi. Dan
salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. (HSR.
Bukhary-Muslim)
Kata Imam An-Nawawy dalam Syarh Shohih Muslim 4/40-41 : Makna hadits
ini bahwasanya wajibnya mandi tidak terbatas hanya pada keluarnya mani,
tetapi kapan tenggelam kemaluan laki-laki dalam kemaluan wanita maka
wajib atas keduanya untuk mandi.
Kata Imam Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/6 : Dan kebanyakan ulama
beramal dengan hadits ini demikian pula yang datang sesudahnya, bahwa
siapa yang menggauli istrinya pada kemaluannya maka wajib mandi atas
keduanya walaupun tidak keluar mani.
Faedah :
Adapun hadits Abu Sa’id sebelumnya yang membatasi mandi hanya ketika
keluar mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam
jima’ oleh hadits Abu Hurairah ini dengan konteks lafazh yang tegas
“walaupun tidak keluar”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : Adapun hadits “Air itu hanyalah
dari air”, jumhur shahabat dan yang setelah mereka menyatakan bahwa ia
telah dimansukh dan mansukh yang mereka maksudkan adalah bahwa mandi
karena melakukan jima tanpa keluar mani telah gugur (hukumnya) dan
kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim 4/36).
Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّمَا كَانَ الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ رُخْصَةً أَوَّلَ الْإِسْلاَمِ ثُمَّ أُمِرْنَا بِالْإِغْتِسَالِ بَعْدُ
“Sesungguhnya mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh
(keringanan) pada awal Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi
sesudah itu” (HR. Ahmad 5/115-116, Abu Daud no. 215,
At-Tirmidzy no. 111 dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shohih. Dan
dishohihkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/155 dan Al-Albany
dalam Shohih At-Tirmidzy 1/34 dan Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’
Ash-Shohih 1/541).
Kata Ibnu Mundzir : Ini adalah pendapat semua orang yang kami hafal
darinya dari ahli fatwa dari ulama-ulama negeri dan saya tidak
mengetahui sekarang adanya khilaf dikalangan ahli ilmu. (Al-Ausath 2/81)
Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.
Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta’ala
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “. (QS. Al-Baqarah : 222).
Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami
menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh yang
demikian kecuali dengan mandi, dan apa-apa yang tidak sempurna kewajiban
kecuali dengannya, maka perkara itu wajib. Al-Majmu’ 2/168.
b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. (HR. Bukhary-Muslim).
c. Ijma’
Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi
karena sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada
keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya (Majmu’
2/168).
Kata Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny 1/277).
Dan Ibnu Hazm juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.
Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil
oleh An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas, juga telah dinukil ijma’ oleh
Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 2/248.
Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah
nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia
tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin.
Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak
ada pengalihannya maka dinamakan nifas. (Lihat Al-Mughny: 1/277).
Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena
sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan
jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid
(lihat Al-Majmu’: 2/167)
Empat : Orang kafir yang masuk Islam.
Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa
sebelum islamnya atau tidak, didapatkan darinya pada zaman kekafirannya
apa-apa yang mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya :
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang
sengaja mandi[2] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam. b. Hadits Qois bin A’shim
radhiyallahu ‘anhu :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
أُرِيْدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
untuk masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan
air dan daun bidara”. (HR. Ahmad 5/61, Abu Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91,
At-Tirmidzy no. 605 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih
At-Tirmidzy 1/187).
Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah
menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan
derajatnya. Wallahu A’lam.
Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Asy-Syaukany, dan lain-lainnya.
Lihat Al-Mughny 1/275, As-Sailul Jarrar 1/123, Ma’alim As-Sunan 1/252 dan lain-lain.
Lima : Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
(1) Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh
dari ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda :
اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ.
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. (HR. Bukhary-Muslim).
(2) Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda :
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا أَوْ أَكْثَرَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika
kalian melihatnya dengan air dan daun bidara”. (HR. Bukhary-Muslim).
******
Tata Cara (Sifat Mandi)
Tata cara mandi junub terbagi atas 2 cara :
1) Cara yang sempurna/yang terpilih.
2) Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
(Lihat Al-Mughny :1/287, Al-Majmu’ : 2/209, Al-Muhalla: 2/28, dan lain-lain.)
Faedah:
Kata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang
sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu
sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat
sempurna. (Lihat As-Syarh Al-Mumti’ : 1/414).
Adapun tata cara yang mujzi` :
1. Niat.
Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan
sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan”. (HR.
Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Faidah :
a. Kata Ibnu Abdil Bar : Pendapat yang shohih (benar) adalah tidak
sah thoharah (bersuci) kecuali dengan niat dan maksud, karena
sesungguhnya kewajiban-kewajiban tidaklah bisa ditunaikan kecuali
bermaksud menunaikannya dan tidak dinamakan pelaku yang hakiki
(sesungguhnya) kecuali ada maksud darinya untuk perbuatan tersebut dan
mustahil seseorang akan menunaikan sesuatu yang tidak dia maksudkan
untuk menunaikannya dan berniat untuk mengerjakannya. (At-Tamhid 2/283)
b. Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : Niat itu ada dua :
Pertama : Niat untuk mengamalkan suatu amalan dan itulah yang
dibicarakan oleh para fuqaha` karena niat itu yang menshohihkan amalan.
Kedua : Niat untuk siapa amalan ditujukan dan inilah yang
dibicarakan oleh ulama Tauhid karena hal tersebut berkaitan dengan
keikhlasan.
Misalnya : ketika seorang ingin mandi (junub-pent) dia berniat mandi,
maka inilah yang dinamakan niat amalan. Akan tetapi jika dia berniat
mandi untuk mendekatkan diri kepada Allah karena ta’at kepadanya, maka
inilah yang dinamakan niat untuk siapa amalan itu ditujukan, yaitu
mencari wajah-Nya yang Maha Suci. Dan yang terakhir ini yang kebanyakan
diantara kita lalai darinya, kita tidak menghadirkan niat untuk taqarrub
(mendekatkan diri). Kebanyakan kita mengerjakan ibadah karena kita
diharuskan untuk melaksanakannya, maka kita meniatkannya untuk
menshohihkan amalan, maka ini adalah kekurangan. Oleh karena itu Allah
Ta’ala berfirman tatkala menyebutkan amalan :
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
“Kecuali mencari wajah Rabbnya yang Maha Tinggi “.( QS. Al-Lail : 20 )
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
“Dan orang-orang yang sabar mencari wajah Rabb mereka “. (QS. Ar-Ra’du : 22)
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
“Mencari keutamaan dari Allah dan ridho-Nya” . (QS. Al-Hasyr : 8)
(Lihat : Syarh Mumti’ 1/417).
2. Menyiram kepala sampai ke dasar rambut dan seluruh anggota badan dengan air.
Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).
Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka
dia telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya (Lihat
Al-Muhalla : 2/28)
2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
قَالَ تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَمَا أَنَا فَيَكْفِيْنِيْ
أَنْ أُصُبُّ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفِيْضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ
جَسَدِيْ.
“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata :
Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali
kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. (HR. Ahmad dan
dishohihkan oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan asal hadits ini
dalam riwayat Bukhary-Muslim).
3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, riwayat Bukhary-Muslim dalam hadits yang panjang, beliau berkata :
وَكَانَ آخِرَ ذَاكَ أَنْ أَعْطِيَ الََّذِيْ أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ فَقَالَ : إِذْهَبْ فَافْرُغْهُ عَلَيْكَ
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang
orang yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan
tuangkanlah atas dirimu air itu “.
Kata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana cara
menuangkan air kepada dirinya. Seandainya mandi itu wajib sebagaimana
tata cara mandinya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam (yang sempurna-pent.), tentunya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam menjelaskan kepada orang tersebut, karena mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan adalah tidak boleh”. (Lihat Asy-Syarh
Al-Mumti’ :1/424).
Adapun sifat atau tata cara mandi junub yang sempurna :
Yang menjadi pokok pendalilan sifat atau tata cara mandi junub yang
sempurna ada dua hadits, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah
radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ رِوَايَةٍ
لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ
فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ
بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ
أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi
dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya
–dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan
kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian
berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan
jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai
beliau menyangka sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram
kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau
menyiram seluruh tubuhnya. (HR. Bukhary-Muslim).
Dalam hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu
tidaklah berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah
dimaklumi dari dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan
telah kami sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.
Maka dari hadits ‘Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :
1. Mencuci kedua telapak tangan.
Dan ada keterangan dalam saah satu riwayat Muslim dalam hadits
‘Aisyah ini bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam
bejana.
2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.
3. Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.
4. Kemudian memasukkan kedua tangan
kedalam bejana, kemudian menciduk air dari satu cidukan dengan kedua
tangan tadi, kemudian menuangkan air tadi diatas kepala. Kemudian
memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya
sampai ke dasar rambut di kepala.
5. Kemudian menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.
Dan diterangkankan dalam hadits ‘Aisyah riwayat Muslim :
كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلاَبِ فَأَخَذَ
بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ
فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bila mandi
dari junub, maka beliau meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam
kantong yang dipakai untuk menyimpan air susu yang diperah dari
binatang), kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya maka
beliau memulai dengan bagian kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri,
kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua tangannya diatas
kepalanya”.
6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Beberapa Catatan
- Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Dalil-dalilnya :
1. Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
كَانَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي
شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi
yang kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh
perkaranya”.
2. Hadits ‘Aisyah juga yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :
كَناَ إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةُ أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا
ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهِ ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدَيْهَا عَلَى شِقِّهِ
الْأَيْمَنِ وَبِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ
“Kami (istri-istri Nabi-Pent) jika salah seorang diantara kami junub,
maka dia mengambil dengan kedua tangannya tiga kali diatas kepalanya
kemudian mengambil dengan salah satu tangannya diatas bagian kepalanya
yang kanan dan tangannya yang lainnya diatas bagian kepalanya yang
kiri.”
(Lihat: Al-Mughny: 1/287, Al-Majmu’: 2/209, At-Tamhid: 2/275,dan lain-lainnya)
- Dalam riwayat Muslim ada tambahan dalam hadits ‘Aisyah dengan lafazh :
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا
“Maka beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali”.
Tambahan “tiga kali” dalam hadits diatas dikritik oleh Imam Abul
Fadhl Ibnu ‘Ammar sehingga beliau menganggap bahwa tambahan tersebut
ghairu mahfuzh (tidak terjaga) atau dengan kata lain sebagai tambahan
yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Dan kritikan tersebut dikuatkan
pula oleh Ibnu Rajab rahimahullah.
Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj
hal. 69-72 karya Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan tahqiq Ali bin Hasan
Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah Shohih Al-Bukhary 1/234 karya Ibnu
Rajab (cet. Dar Ibnul Jauzy)
- Ada tambahan lain dalam hadits ‘Aisyah juga riwayat Muslim, lafazhnya sebagai berikut :
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian beliau mencuci kedua kakinya”.
Tambahan diatas juga dilemahkan oleh Abul Fadhl Ibnu ‘Ammar dengan
alasan bahwa Abu Mu’awiyah bersendirian dalam meriwayatkannya dari
Hisyam. Sedangkan sedangkan murid-murid hisyam lainnya tidak yang
meriwayatkannya, seperti Za`idah, Hammad bin zaid, Jarir, Waki’, ‘Ali
bin Mushir dan lain-lainnya. Dan Imam Muslim sendiri telah memberikan
isyarat bahwa tammbahan itu adalah lemah.
Lihat : ‘Ilalul Ahadits Fii Kitab Ash-Shohih li Muslim bin Hajjaj hal.
69-72 dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halaby dan Fathul Bary fii Syarah
Shohih Al-Bukhary 1/233-234 bersama ta’liq Thoriq bin ‘Iwadhullah.
Kesimpulan Cara Mandi Dalam Hadits ‘Aisyah
Mencuci kedua telapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam
bejana, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan keatas tangan kiri
lalu mencuci kemaluan, lalu berwudhu dengan wudhu yang sempurna
sebagaimana berwudhu untuk sholat, kemudian memasukkan kedua tangan
kedalam bejana, lalu menciduk air dari satu cidukan lalu menuangkan air
tadi diatas kepala dan menyela-nyelai rambut sampai ke dasar kepala,
kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Dua : Sifat mandi junub dalam hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha.
Adapun cara yang kedua :
Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ
مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ
بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ
وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى
رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ
رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ
الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.
“Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan
kanannya diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci
kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua
kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup
air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya sampai siku kemudian
menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh tubuhnya kemudian mengambil
posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya kemudian saya
memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau tidak
menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. (HR.
Bukhary-Muslim).
Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :
- Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.
- Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
- Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah
ada penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan
cara menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.
- Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan
kepala dalam hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga
kali.
- Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir
mandi sedangkan dalam hadits ‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan
wadhu.
Catatan Penting
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada
beberapa perbedaan antara hadits ‘Aisyah dan hadits Maimunah dan itu
banyak terjadi dalam beberapa ‘ibadah yang dikerjakan oleh Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan
‘ibadah tersebut dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan
kepada umat bahwa ada keluasan dalam bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut.
Sepanjang ada tuntunan dalam Syari’at yang menjelaskan bentuk-bentuk
‘ibadah tersebut maka boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara
silih berganti. Demikian makna penuturan Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dalam
kitab beliau Tanbihil Afham bisyarhi ‘Umdatil ‘Ahkam 1/83.
Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Tata Cara Mandi Junub
1. Apakah disyariatkan menyela-nyelai jenggot?
Para Fuqoha` menyebutkan perkara ini dalam tata cara mandi junub,
seperti Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/209 dan Imam Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughny 1/287. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar (At-Tamhid 2/278) didalam
hadits ‘Aisyah didapatkan apa yang menguatkan pendapat yang
menyela-nyelai (jenggotnya-pent) karena ucapannya ‘Aisyah :
فَيَدْخُلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ الشَّعْرِ
“Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memasukkan
jari-jarinya ke dalam air kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya
dasar-dasar rambut”
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.
2. Tata cara mandi janabah ini juga berlaku bagi perempuan dan tidak ada perbedaan kecuali dalam hal membuka kepang rambutnya.
Dan membuka kepang rambut bagi perempuan tidaklah
wajib bila air dapat sampai ke pangkal rambut tanpa membuka kepangnya,
sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha :
إِنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشَدُّ
ضَفْرِ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِلْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ، إِنَّمَا
يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ
تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.
“Sesungguhnya ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah
saya harus membukanya untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak,
sesungguhnya cukup bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali
kemudian menyiram air diatasnya, maka kamu sudah suci”. (HSR. Muslim )
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ : بَلََغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ
اللهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ
رُؤُوْسَهُنَّ فَقَالَتْ : يَا عَجَبًا لِاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا ! يَأْمُرُ
النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ !! أَفَلاَ
يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ ؟ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ
أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلَا أَزِيْدُ عَلَى أَنْ
أَفْرُغَ عَلَى رَأْسِيْ ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ.
“Dari ‘Ubaid bin ‘Umair, beliau berkata : telah sampai kepada ‘Aisyah
bahwasanya Abdullah ibnu ‘Amr memerintahkan para perempuan untuk
membuka kepang rambut bila mandi janabah. Maka ‘Aisyah berkata :
Alangkah mengherankan Ibnu ‘Amr ini, ia memerintahkan para perempuan
untuk membuka kepang rambutnya, kenapa dia tidak memerintahkan mereka
untuk menggundul rambutnya?. Sesungguhnya saya mandi bersama Rasulullah
dari satu bejana dan tidaklah saya menambah dari menyiram kepalaku tiga
kali siraman”. (HSR. Muslim )
Berkata Imam Al-Baghawy : Mengamalkan hal
ini adalah pilihan semua Ahlul ‘Ilmi bahwasanya membuka kepang rambut
tidak wajib pada mandi junub jika air bisa masuk ke pangkal rambutnya.
(Syarh Sunnah 2/18)
3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara :
a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas
atau yang sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman
kemudian dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya)
untuk membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.
Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah :
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ عَنْ الْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ فَقَالَ :
خُذِيْ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرِيْ بِهَا فَقَالَتْ : كَيْفَ
أَتَطَهَّرُِ بِهَا فَقَالَ : تَطَهَّرِيْ بِهَا ؟ قَالَتْ : كَيْفَ ؟
قَالَ : سُبْحَانَ اللهُ تَطَهَّرِيْ. فَاجْتَذَبَتْهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ :
تَتَبَّعِيْ أَثَرَ الدَّمِ.
“Sesungguhnya ada seorang perempuan datang kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertanya tentang mandi dari Haid. Maka
Nabi menjawab ambillah secarik kain yang diberi wangi-wangian kemudian
kamu bersuci dengannya. Dia bertanya lagi : Bagaimana saya bersuci
dengannya?. Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab :
Bersucilah dengannya . Dia bertanya lagi bagaimana?. Nabi Menjawab :
Subhanallah, bersucilah dengannya. Kemudian akupun menarik perempuan itu
ke arahku, kemudian saya berkata : Ikutilah (cucila) bekas-bekas darah
(kemaluan)”. (HR. Bukhary-Muslim)
Dan ini dilakukan sesudah selesai mandi sebagaimana dalam hadits
‘Aisyah bahwasanya Asma` bintu Syakal bertanya kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang mandi Haid, maka Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab :
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدْلِكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا
حَتَى يَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ
ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا. فَقَالَتْ
أَسْمَاءُ : وَكَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ الله
تَطَهَّرِيْنَ بِهَا. فَقَالَتْ عَائِشَةُ : كَأَنَّهَا تَخْفَى ذَلِكَ
تَتَبَّعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ.
“Hendaklah salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun
bidara kemudian bersuci dengan sempurna kemudian menyiram kepalanya dan
menyela-nyelanya dengan keras sampai ke dasar rambutnya kemudian
menyiram kepalanya dengan air. Kemudian mengambil sepotong kain (atau
yang semisalnya-pent.) yang telah diberi wangi-wangian kemudian dia
bersuci dengannya. Kemudian Asma` bertanya lagi : “Bagaimana saya
bersuci dengannya?”. Nabi menjawab : “Subhanallah, bersuci dengannya”.
Kata ‘Aisyah : “Seakan-akan Asma` tidak paham dengan yang demikian, maka
ikutilah (cucilah) bekas-bekas darah (kemaluan)”. (HSR. Muslim)
(Lihat Al-Majmu’ 2/218, Al-Mughny 1/302, dll)
b. Disunnahkan pula untuk mandi
dengan air dan daun bidara sebagaimana hadist ‘Aisyah diatas.c.
Disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang rambutnya,
sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary :
أُنْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَامْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ”Bukalah
kepang rambutmu dan bersisirlah dan tahanlah ‘umrah kamu”. Sisi
pendalilannya : walaupun ‘Aisyah disini mandi untuk tahlil (untuk haji)
bukan mandi haid tetapi tahlul (untuk haji) disini mengharuskan dia
untuk mandi karena mandi itu merupakan sunnah untuk ihram dan dari
situlah datang perintah mandi secara jelas dalam kisah ini, sebagaimana
diriwaatkan oleh Imam Muslim dari jalan Abi Azzubair dari Jabir
فَاغْتَسِلِي ثُمَّ أَهَلِّي بِالْحَجِّ
”Maka mandilah dan tahallullah untuk haji”
Jadi kalau boleh baginya untuk bersisir dalam mandi ihram padahal
hukum mandinya hanya sunnah, maka bolehnya untuk mandi haid yang
hukumnya wajib adalah lebih utama.
Tetapi hukum membuka kepang rambut disini hanya sunnah tidak sampai wajib karena hadits Ummu Salamah :
قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِي امْرَأَةٌ أَشَدُّ ضُفْرِ رَأْسِي
أَفَاَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ ؟ قَالَ : لاَ وَفِي رِوَايَةٍ :
لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ
“Ummu Salamah bertanya : “Ya Rasulullah, saya adalah perempuan yang
sangat kuat kepang rambutku. Apakah saya membukanya untuk mandi jenabah
?. Rasulullah menjawab : “Tidak”. Dan dalam salah satu riwayat : “Untuk
mandi haid dan janabah”. (HSR. Muslim).
Dan Imam Bukhary membawakan bab : فقضى المرأة شعرها عند غسل المحيضWanita membuka kepang rambutnya ketika mandi dari haid.
Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Wallahu A’lam.
Periksa : Al-Majmu’ 2/216, Al-Mughny 1/300, Fathul Bary 1/417 , dan Al-Muhalla 2/38
Kemudian dari sisi pandangan :
a. Ketika mandi janabah tidak
perlu membuka kepang rambut sebagai kemudahan karena sering dilakukan,
maka tentu memberatkan kalau harus dibuka. Berbeda dengan mandi haid
karena hanya dilakukan sekali sebulan umumnya pada wanita normal.
b. Karena mandi janabah, rentang
waktu antara junubnya dengan mandinya lebih pendek dari mandi haid, yang
bisa menunggu sampai berhari-hari, maka untuk kesempurnaan mandinya dan
kesegarannya maka disyari’atkan dibuka kepang rambutnya.Wallahu A’lam
4.
Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau yang
sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut,
dan asalnya adalah mubah.
Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya
tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
riwayat Bukhary-Muslim :
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
بِالْعِشَاءِ فَخَرَجَ عَمَرُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ رَقَدَ
النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ مَاءً يَقُوْلُ :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ
بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِيْ هَذِهِ السَّاعَةِ.
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat
‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu
berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’.
Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata
: “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan
memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.”.
Berkata Ibnul Mulaqqin dalam Al-I’lam 2/292 : “Dalam (hadits ini)
menunjukkan tidak ber-tansyif (menyeka air dari anggota tubuh) karena
andaikata beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ber-
tansyif niscaya kepalanya tidak meneteskan air dan tidak seorangpun yang
berpendapat bahwa ada perbedaan antara kepala dan badan dalam hal
tansyif “.
Adapun lafadz yang dipakai sebagian ulama tentang makruhnya hal tersebut yaitu lafadz dalam hadits Maimunah :
فَأَتَيْتُهُ بِحِرْقَةٍ فَلَمْ يًُرِدْهَا
“Maka sayapun memberikan kepada beliau secarik kain maka beliau tidak menginginkannya”.
Maka dapat dijawab dari beberapa sisi :
a. Sebagian rawi keliru dalam menetapkan lafadz ini dengan membacanya فَلَمْ يَرُدَّ هَا yang benarnya adalah فلم يُِردْهَا .
Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar : Dengan di-dhomma awalnya dan dal-nya
disukun dari الْإِرَادَةُ dan asalnya ” يُرِيْدُهَا ” tetapi di-jazm-kan
dengan lam. Maka siapa yang membacanya di-fathah awalnya (ya`-nya) dan
di-tasydid dal-nya maka dia merubah dan merusak maknanya. Dan Imam Ahmad
meriwayatkan dari Affan dari Abu ‘Awanah dengan sanad ini dan
diakhirnya beliau berkata :
فَقَالَ : هَكَذَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ لاَ أُرِيْدُهَا.
“Dan dia berkata demikian dan memberikan isyarat dengan tangannya
bahwasanya dia tidak menginginkannya”. (Lihat : Fathul Bary 1/376)
b. Ini kejadian tersendiri dan kenyatan tertentu yang tidak boleh
diterapkan sebagai dalil secara umum. Apalagi memuat beberapa
kemungkinan seperti kemungkinan kotor, basah, merasa cukup dan tidak
perlu dan lain-lain. Wallahu A’lam.
c. Maimunah yang memberikan kain kepada Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa kebiasaan beliau
setelah mandi adalah menggunakan kain tapi dalam kesempatan ini saja
beliau tidak memakainya. Dari keterangan ini, boleh jadi hadits ini
bermakna sunnah sebagai kebalikan dari apa yang mereka pahami bahwa
mamakai kain setelah mandi adalah makruh.
Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, Sufyan
Ats-Tsauri, Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat : Syarh Sunnah : 2/15,
Ihkamul Ahkam : 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ :
1/253).
5.
Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak
berwudhu. Maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil
dan besar dan boleh baginya untuk sholat
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Dan (jangan pula dekati sholat) sedangkan kalian dalam keadaan junub
kecuali sekedar berlalu sampai kalian mandi”. (QS. An-Nisa` : 43).
Kata Ibnu Qudamah : dijadikan mandi itu sebagai puncak/tujuan dari
larangan untuk sholat, maka jika dia telah mandi wajib maka tidak
terlarang lagi baginya untuk sholat. Dan sesungguhnya keduanya yaitu
mandi dan wudhu, dua ibadah yang sejenis, maka masuk yang kecil kedalam
yang besar seperti umrah dalam haji (Lihat :Al-Mughny 1/289).
Kata Ibnu Abdil Bar : orang yang mandi dari janabah jika dia belum
berwudhu dan menyiram seluruh badannya maka sungguh dia telah
menunaikannya yang wajib baginya, karena sesungguhnya Allah Ta’ala hanya
mewajibkan kepada yang junub mandi dari janabah tanpa wudhu dengan
firmannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kalian junub, maka bersucilah”. (QS. Al-Ma`idah : 6).
Dan itu adalah ijma’ tidak ada khilaf di kalangan para ulama mereka
juga sepakat tentang sunnahnya wudhu sebelum mandi mencontoh Rasulullah
dan karena wudhu tersebut membantu mandi dan lebih membersihkan padanya.
(Lihat : Al-Istidzkar 1/327-328 ).
Kata Imam Asy-Syafi’iy : Allah mewajibkan mandi secara mutlaq, tidak
disebut didalamnya sesuatu yang dimulai dengannya sebelum sesuatu. Maka
jika orang yang mandi itu telah mandi (junub-pent), itu sudah cukup
baginya dan Allah lebih tahu tentang bagaimana yang Dia datangkan
demikian pula tidak ada batasan tentang air pada mandi janabah kecuali
agar mendatangkan dengan menyiram seluruh tubuhnya. (Lihat : Al-Umm
1/40, Al-Fath 1/360-361)
Kata Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama
dan diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah
bin Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai
bapakku bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab :
iya, akan tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya
berwudhu. Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ 1/43 dan
dishohihkan sanadnya oleh Al-Arna`uth dalam ta’liqnya pada Syarh Sunnah
2/13. (Lihat pula Majmu’ Fatawa :21/396-397, 1/397, Al-Muhalla : 2/44).
6.
Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah
mandi janabah tanpa berwudhu lagi,
sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَصَلاَةَ الْغَدَاةِ وَلاَ أَرَاهُ
يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ الْغُسْلِ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi
janabah dan sholat dua raka’at kemudian sholat shubuh dan saya tidak
melihatnya berwudhu lagi setelah mandi”. (HR. Imam Abu Daud 1/172 no.
250).
Dan dari ‘Aisyah :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ
يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ وَزَادَ ابْنُ مَاجَه : مِنَ الْجَنَابَةِ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak
berwudhu lagi sesudah mandi. Dan ditambahkan oleh Ibnu Majah : Dari
mandi janabah”. (HR. At-Tirmidzy 1/179 no. 107 dan berkata : Hadits ini
Hasan Shohih dan An-Nasa`i 1/137 no. 252 dan Ibnu Majah 1/191 no. 579
dan dishohihkan oleh Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 1/548).
Kata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 2/225) : Dan Ar-Rafi’i dan yang
lainnya telah menukil kesepakatan bahwasanya tidak disyariatkan wudhu
dan mudah-mudahan itu adalah ijma’.
Tapi perlu diingat bahwa tidak perlunya berwudhu setelah mandi, bila
dia meniatkan wadhu bersama dengan mandi sebagaimana telah dimaklumi
tentang wajibnya niat pada setiap ‘ibadah. Baca Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da`imah 5/326.
7. Disunnahkan untuk tidak kurang dari satu sho’ (empat mudd).
Sebagaimana dalam hadits Safinah radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ وَيَتَطَهَّرُ بِالْمًدِّ
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi dengan
satu sho’ dan berwudhu dengan satu mudd (ukuran dua telapak tangan
normal). (HSR. Muslim).
Dan dalam hadits Anas :
بِالصَّاِع إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ
“Dengan satu sho’ sampai lima mudd”. (HR. Bukhary-Muslim).
Dan juga diriwayatkan dalam Shohih Al-Bukhary dari hadits Jabir dan ‘Aisyah.
8. Dan boleh kurang dari satu sho’.
Hal ini juga ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya :
a. Hadits ‘Aisyah
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ يَسَعُ ثَلاَثَةَ أَمْدَادٍ
وَقَرِيْباً مِنْ ذَلِكَ
“Saya mandi bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dari satu bejana memuat tiga mudd atau sekitar itu”. (HR.
Muslim).
b. Hadits ‘Aisyah yang lain :
كُنْتُ أًغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا
فِيْهِ مِنَ الْجَنَابَةِ
“Saya mandi janabah bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam dari satu bejana dan tangan kami berebutan didalamnya”.
(HR. Bukhary-Muslim).
c. Hadits Ibnu Abbas :
أَنَّ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُوْنَةَ كَانَا يَغْسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan
Maimunah keduanya mandi dari satu bejana”. (HR. Bukhary-Muslim).
9. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.
Hal ini dtunjukkan oleh hadits Abdullah bin Mughoffal dengan sanad
yang shohih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطََّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ
“Sesungguhnya akan ada pada ummat ini suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a”.
Wallahu A’lam wa Ahkam.
[1] Ini adalah kinayah dari melakukan hubungan suami-istri.
[2] Pada sebagian riwayat ada lafazh perintah tapi ada kelemahan dari sisi sanadnya.